Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno memutuskan bahwa program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi untuk 2003 sebanyak 150.000 unit dengan nilai subdisi Rp.44,9 milyar dari usulan semula 180.000 unit dengan nilaiRp. 540 milyar.
Hal tersebut pertimbangannya karena kemampuan produksi dan daya serap pasar selama kurun waktu 2002. Untuk itu, pemerintah mengambil langkah-langkah antisipasi yang lebih realistis soal pencapaian target pencapaian Kredit Pemilikan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana ( RS/RSS)" Ujar Menkimpraswil ketika Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR-RI, Rabu (29/1) di Jakarta, yang dipimpin Wakil Ketua Komisi IV M.Sofhian Mille dari Fraksi Golkar.
Dari jumlah 150.000 unit tersebut kata Soenarno terdiri dari 120.000 unit dengan subsidi selisih bunga yang diperuntukkan bagi 3 kelompok sasaran yakni masyarakat berpenghasilan per bulan Rp. 350 ribu-500, 500 ribu-900 ribu dan 900 ribu-1.5 juta). Sedangkan 30.000 unit dengan subsidi uang muka diperuntukkan bagi sasaraan berpenghasilan Rp. 500 ribu-Rp. 1.5 juta.
"Sehingga dana yang dibutuhkan untuk 2003 menjadi Rp. 350,8 milyar untuk subsidi selisih bunga dan Rp. 99 milyar sebagai uang muka " tandas Soenarno.
Menurutnya pula bahwa pada dasarnya masyarakat tidak mengalami kenaikan penghasilannya , sementara itu beban biaya hidup cenderung makin meningkat.
Oleh karena itu, sesuai Keputusan Mwenteri Kimpraswil Nomor : 403/KPTS/M/2002, masyarakat tidak lagi hanya dihadapkan pada satu pilihan untuk spesipikasi teknisnya, yakni rumah tembok. Namun mereka diberika pilihan membangun rumah tembok, setengah tembok, kayu akan tetapi bukan panggung atau rumah kayu panggung. Soenarno berharap agar hal itu para pengembang banyak kreatipitas dalam membangun rumah sesuai dengan kebutuhan di setiap daerah.
Soal LPJK dan LJKI
Sementara itu menjawab pertanyaan Anggota Dewan soal kontroversi keberadaan LPJK dan LJKI Soenano mengatakan, bahwa saat ini masih terjadi friksi antara dua lembaga yang mengklaim bahwa keduanya merupakan lembaga yang sesuai dengan maksud UU No:18/1999.
Menurutnya, dua lembaga tersebut beberapa waktu lalu melalui Porum Jasa Konstruksi sudah dicoba untuk dipertemukan untuk melakukan rekonsuliasi, namun hal itu belum diperoleh suatu kesepakatan. Namun kami meminta agar kedua belah pihak melakukan pembenahan-pembenahan.
Bahwa yang jelas menurut fatwa Mahkamah Agung dan penelusuran yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman dan HAM, maka hanya ada satu Lembaga bidang jasa konstruksi yang sesuai dengan UU No: 18 /1999 tersebut.
Oleh karena itu LPJK dan LJKI harus mencari solusi, dan saat ini tengah dilakukan pembicaraan apakah merubah namanya serta kepengurusannya atau sekaligus merubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART).