Pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang prasarana dan sarana kota (PSK) tidak terlepas dari isu-isu srtategis nasional. Isu strategis yang dinilai untuk diperhatikan diantaranya mengingat isu itu berkaitan dengan semakin bertambahnya penduduk miskin di perkotaan, kurang serasian hubungan antara kota dan desa serta pentingnya meningkatkan penataan dan revitalisasi kawasan dalam mewujudkan lingkungan kota yang layak huni. Dalam penanganan pertumbuhan penduduk miskin di perkotaan, pemerintah menilai bahwa masalah ini harus ditangani secara terpadu dengan melibatkan antar lintas sektor. Mengenai kurang serasi antara kota dan desa terjadi akibatpembangunan lebih berorientasi ke wilayah perkotaan, guna mendukung industri. Disisi lain, masalah pelayanan air bersih di permukiman kumuh perkotaan juga merupakan masalah yang perlu diatasi pemerintah.
Hal itu diungkapkan Dirjen Perumahan dan Permukiman Depkimpraswil, Acha Sugandi pada pertemuan dengan Warga Kelurahan Pela Mampang, Jakarta Selatan, Sabtu (1/3) lalu yang diselenggarakan LSM Jakarta Empowering Society (JES) bekerjasama dengan Keluruhan Pela Mampang. Hadir pada kesempatan itu para tokoh masyarakat setempat, Camat/Lurah Mampang, Bappeda DKI, DPRD dan Asisten Pembangunan DKI dan LSM dari CSIS. Mereka merupakan nara sumber dalam dialog tersebut.
Dalam pertemuan yang berlangsung hingga larut malam tersebut, diakhiri dengan dialog interaktif yang memperolehperhatian besar dari masyarakat. Bahkan seorang warga terlihat emosi saat menanyakan kepada para nara sumber yang hadir pada malam itu. Dia menanyakan tentang perhatian pemerintah yang tidak tanggap dan tidak serius dalam membantu warga Pela Mampang dalam hal mengatasi banjir yang selalu menimpa tempat tinggal mereka bila musim hujan tiba. Menjawab pertanyaan itu baik Dirjen Perumahan dan Pejabat lain yang menjadi nara sumber menyatakan bahwa masalah itu terjadi karena kurangnya komunkasi antara masyarakat dan pihak pemerintah.
Acha Sugandhy menilai, musibah itu terjadi karena kesalahan dari manusia sendiri, yang telah merusak lingkungan dari mulai hulu hingga hilir. Misalnya DKI telah memiliki Perda tentang Lisiba/Kasiba yang dikeluarkan pemerintah. Namun, peraturan itu sering dilanggar oleh aparat Pemda sendiri, dengan cara mengizinkan daerah atau lahan hijau yang seharusnya jadi serapan air hujan menjadi perkantoran, pertokoan dan permukiman. "Harusnya, jangan diberikan IMB untuk hal seperti itu. Nah siapa yang mesti disalahkan, bila akhirnya terkena banjir ? tanya Dirjen Perumahan. Menurutnya, bila wilayah Pela Mampang hingga saat ini masih terkena banjir bila musim hujan, itu dikarenakan wilayahnya tidak terstruktur. "Wajar saja. Terlebih lagi dulunya wilayah ini sebagai daerah aliran sungai (DAS)," tegasnya.
Berkaitan dengan itu, Acha Sugandhy mengharapkan bila pihak Kelurahan/Kecamatan menerima bantuan dana untuk pembangunan prasarana, janganlah digunakan untuk perbaikan jalan saja, melainkan prasarana lain juga perlu dipikirkan. Jangan pula, dana tersebut dijadikan suatu proyek. Perhitungan dananya tertulis, namun realisasinya tidak sesuai. Menurut dia, wilayah DKI sejak dulu luasnya tidak pernah bertambah. Sedangkan penduduknya setiap tahun semakin bertambah. Inilah penyebab mengapa permukiman kumuh tumbuh di perkotaan. Akhirnya, karena terpaksa mereka membangun permukiman di sepanjang bantaran sungai, atau daerah resapan air. Sehingga timbul konversi lahan. Contohnya, kuburan Blok P di Jakarta Selatan, yang dulunya sebagai resapan air, kini telah berubah fungsi. "Siapa yang harus disalahkan," ? tanya Acha.
Berkaitan dengan masalah pemberian izin IMB, Acha mengharapkan agar setiap Walikota di DKI memahami pengetahuan tentang peraturan Lisiba/Kasiba. Hal itu dimaksudkan agar pejabat itu dapat mempertimbangkan kawasan mana saja dilingkungan wilayahnya yang boleh dikeluarkan IMB-nya. Dengan demikian tidak terjadi lagi penyalahgunaan fungsi lahan. Sebab, kata Acha tidak sedikit lahan yang berubah fungsi. Misalnya lahan hijau atau daerah resapan air yang seharusnya dilestarikan, berubah menjadi kawasan permukiman, pertokaan dan perkantoran. "Lebih ironis lagi bila daerah resapan berubah menjadi lapangan golf. Prasarana itu seperti itu kan sudah banyak. Toh pemain dari olah raga itu orangnya itu-itu juga," ucapnya.
Oleh karena itu dirinya mengusulkan, bila ada pemilihan seorang Walikota, pengetahuan tentang Perda Lisiba dan Kasiba harus dimiliki oleh setiap calon Walikota. Dengan demikian Perda Kasiba/Lisiba harus menjadi acuan untuk meluluskan setiap calon yang akan menduduki Walikota. Selain itu, Dijen Perumahan dan Permukiman juga mengakui, salama ini pihaknya sulit untuk menembus Pemda DKI, guna menyalurkan bantuan kepada masyarakat miskin guna membantu peningkatkan perekonomian mereka. Pasalnya, program seperti P2KP, Co-Bild atau bantuan dana bergulir bagi masyarakat miskin perkotaan sulit direalisasikan di DKI. "Begitu sulitnya masuk ke Pemda DKI terpaksa bantuan bergulir itu diberikan kepada daerah lain seperti, Bandung, Surabaya, Depok, Tangerang , Bekasi dan kota-kota lain di Indonesia.
Sementara itu Pejabat Asisten Pembangunan DKI mengakui,pekerjaan normalisasi sungai Krukut dan Mampang yang sering luber menggenangi kelurahan Pela Mampang belum bisa dilaksanakan. Pasalnya, selama ini masalah yang dihadapi Warga penghuni bantaran sungai bila akan diremajakan atau dilakukan normalisasi Sungai melalu meminta harga tanah miliknya dihargai lebih tinggi dari NJOP. Padahal, anggaran yang tersedia untuk pembebasan kawasan itu perhitungannya di dasarkan pada NJOP. "Hal-hal semacam ini selalu menjadi kendala. Mereka selalu minta ganti untung, bukan ganti rugi," keluhnya. "Kejadian seperti ini terjadi pada warga Bantaran Sungai di Bidaracina.Mereka bersedia dipindahkan ke Rusunawa. Ketika akan direalisasikan, tanah mereka minta dihargai 10 kali lipatnya. Bayangkan seharusnya, 300 pe M2 naik menjadi Rp 3 juta rupiah per M2. Kapan ketemunya. Padahal seperti diketahui, anggaran pemerintah sangat terbatas," tambahnya.
Dirjen Perumahan dan Asisten Pembangunan DKI sependapat, sudah saatnya pembangunan permukiman dibangun vertikal. Hal itu mengingat semakin terbatas dan mahalnya harga tanah di perkotaan khususnya di DKI Jakarta. Menurut mereka, bila pembangunan rumah tinggal penduduk dibuat vertikal, kebutuhan akan lahan hanya sedikit. Sehingga selebihnya dapat dimanfaatkan untuk penghijauan atau daerah resapan air. Dengan demikian, diharapkan warga DKI Jakarta di masa depan tidak ada lagi yang teriak, tempat tinggal mereka terkena banjir. Diingatkan, dulu tahun 1965 - an, tidak terdengar kebanjiran. Karena rumah-rumah air masih banyak. Tapi kini rumah air sudah menjadi rumah manusia. "Dan mereka (air) kembali bila musim hujan. Anehnya, justru manusia yang teriak kebanjiran. Seharusnya, kan air yang berteriak, bukan sebaliknya," tanya dia dengan penuh heran.