Secara realistik kota-kota Metropolitan dan kota besar di Indonesia termasuk Jakarta sebagian wilayahnya lebih rendah dari muka air laut rata-rata (MALR). Khusus DKI Jakarta, 40% wilayahnya merupakan dataran rendah yang rawan dengan banjir. Akibat seringnya digenangi air maka banyak daerah di Jakarta yang dikenal dengan nama Rawasari, Rawa Belong, Rawamangun dsb. Itu menunjukkan tempat itu dulu sebagai "rumah air". Maka tidaklah mengherankan bila Jakarta saat ini kerap dilanda banjir. Karena rumah air yang dulu ada, kini telah beralih fungsinya menjadi wilayah permukiman.
Pernyataan itu disampaikan Dirjen Sumber Daya Air, Rustam Syarief, MSc dihadapan pers kemarin (13/1 , di Jakarta. Dikatakan, sesungguhnya, pihak yang dirugikan dalam masalah banjir adalah air itu sendiri. Bukan sebaliknya, manusia yang menjadi korban. "Banjir tidak mungkin terjadi, jika rumah air tetap dipertahankan. Setu-setu, rawa-rawa yang dulu ada merupakan rumah air." ucapnya.Penyebab semua itu, akibat tingginya tingkat urbanisasi dan kemiskinan. Sehingga mereka (warga miskin) tidak memiliki pilihan lain, kecuali mereka terpaksa harus tinggal di lahanresapan air. Yang sebenarnya mereka sadar bahwa tempat itu rawan banjir," tambah dirjen.
Menurut hasil kajian dari LAPAN,daerah bebas banjir yang ada di Jakarta hanya sekitar 15%- 20%. Bila curah hujannya optimum dikaitkan dengan topografi yang ada maka wilayah-wilayah yang rawan banjir di Jakarta pasti terendam banjir. Untuk mengurangi tingkat kerugian (material) yang bakal ditanggung masyarakat, Rustam menyarankan membuat rumah panggung dengan patokan ketinggian air saat Jakarta dilanda banjir besar Pebruari 2002 lalu.Menurutnya, Jakarta sangat cocok bila dijadikan kota air, seperti yang ada di luar negeri. Dengan demikian banjir bukanlah hal yang perlu ditakutkan lagi.
Bahkan, tambah Rustam, masyarakat dapat hidup damai dan harmoni bersama air (Danir),sebagaimana maskot kampanye yang dicanangkan Depkimpraswil pada penyelenggaraanSeminar Terbuka di Rawabadak, Jakarta Utara Sabtu (11/1) lalu.Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang semakin bertambah parah mulai dari hulu hingga hilir. "Ini merupakan potensi utama terjadinya banjir.Jika air bisa berteriak, maka sebenarnya dialah yang jadi korban," ucapnya.
Menurut Rustam Syarif, total dana yang dibutuhkan agar Jakarta terbebas dari bencana banjir anatra 16-17 triliun. Dan program itu masuk dalam jangka panjang. Karena kemungkinan baru dapat dipenuhi selama 10 tahun mendatang.Sementara itu, Kepala Pimpro Proyek PSAPB Ciliwung-Cisadane, Wahyu Hartomo menegaskandalam rangka persiapan datanganya banjir yang melanda Jakarta, pihaknya telah melakukan upaya-upaya diantaranya sosialisasi tentang antisipasi banjir di Jaksel dan Jaktim.Mengindentifikasi daerah rawan banjir yang terdapat di 78 lokasi. Menyiapkan karung plastik 35.000 lembar, mobile pump (18 bh), 10 unit perahu karet. Mempersiapkan lokasi pengungsian di 291 lokasi, tenda daruruat, MCK dan peralatan dapur umum.
Memasang sistem komunikasi radio pada lokasi strategasi seperti Katulampa, Depok, Manggarai, Pesanggraahan dan Batu belah. Pihaknya juga telah memasang home page di Kimpraswill-Net yang menyajikan sajian data tinggi muka air pada lokasi stasiun pemantau.Ditambah lagi dengan perbaikan DAS merehab 9 buah situ serta perbaikan pintu air dan menyediakan 16 buah pompa banjir.
Disamping itu, tambah Wahyu guna penanganan strategi jangka panjang yang masuk dalam Master Plan penanggunglangn Banjir Jabotabek , mencakup sudetan Ciliwung-Cisadane, BKT dan normalisasi sungai-sungai di wilayah Jabotabek. Dana yang dihabiskan untuk penanganan tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp 99,5 miliar"Diperkirakan tahun 2003 dana yang dibutuhkan guna penanganan banjir sekitar itu," ucapnya.
Tercatat sampai 6 Januari 2003 kejadian banjir periode 2002-2003, bencana ini telah menimpa 16 propinsi dengan jumlah 45 kali kejadian. Korban yang tewas 59 orang, 13 orang hilang dan 75.163 orang mengungsi.