Sumaryanto Widayatin Ir. MSCE
Kepala Pusat Pengembangan Investasi - Bapekin
Departemen KimpraswilDi USA ataupun Inggeris, panggilan single parents biasanya ditujukan pada wanita tanpa suami yang telah mempunyai anak. Konsekwensi logis dari single parents adalah harus menghidupi dan membimbing anak tersebut sampai dia besar nanti. Dahulu saya pikir, single parents adalah keinginan exist dari sekelompok orang, yang biasanya feminis, dengan bangga menyatakan kemandirian hidup tanpa topangan suami.
Akan tetapi setelah membaca artikel-artikel mengenai single parents, ada hal-hal yang sangat esensial yang perlu dipertimbangkan menjadi single parents. Menjadi Bapak sekaligus Ibu, sangat kontradiktif, walaupun di negara-negara maju sekalipun. Peran Bapak sebagai breadwinner Ÿ pencari nafkah, sangat kontras dengan peran ibu sebagai pelindung dan pembimbing anak. Dengan menggabungkan fungsi tersebut pada satu orang, bayangkan dampak psikologis, ataupun effort yang harus di tanggungoleh si ibu, untuk balancing kedua peran yang berbeda tersebut. Yang terjadi di Inggeris misalnya 72% dari single parents, tidak dapat mengoptimalkan kehadirannya di kantor, dan juga tidak dapat mengoptimalkan perannya di rumah. Ironis.. bukan?
Jasa Marga dapat di anekdotkan sebagai single parents, yang mempunyai fungsi yang saling kontradiktif dan tentunya selain menguras tenaga yang luar biasa, juga ada hal-hal yang tidak dapat di optimalkan dan hal ini tentunya perlu ditindak lanjuti.Pemisahan fungsi Jasa Marga dari fungsi regulator dan operator menjadi fungsi operator saja, tidak hanya akan meningkatkan minat investor dalam berinvestasi, tetapi juga untuk lebih memprofesionalkan Jasa Marga sebagai salah satu BUMN andalan kita bersama.
Masalah "single parents" yang disandang oleh Jasa Marga
Di dalam harian ini beberapa waktu yang lalu disebutkan oleh Direktur Utama Jasa Marga yang menyebutkan kewajiban Jasa Marga menanggung resiko yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab Jasa Marga, dan hal ini tentunya berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan. Dengan peran ganda tersebut, Jasa Marga sebagai salah satu pemegang saham dalam perusahaan patungan penyelenggaraan jalan tol, memiliki benturan kepentingan dengan kebijakan Jasa Marga sebagai pemberi kuasa (menjadi perpanjangan tangan pemerintah). Fungsi ganda, tentunya menyebabkan Jasa Marga juga harus melakukan suatu rekayasa keuangan dari tol layak ke tol subsidi, dan ini tentunya akan mengganggu cash flow Jasa Marga.
Satu hal yang menarik mengenai Jasa Marga, pada Master Plan Kementerian BUMN disebutkan bahwa PT. Jasa Marga merupakan salah satukandidat untuk di privatisasikan. Terlepas dari pro dan kon privatisasi, agaknya tidak mungkin dilaksanakan, karena saat ini, dengan fungsi regulator yang melekat, tidak dapat diprivatisasikan. Tentu saja, masalah ini bukan monopoli Jasa Marga sendiri, paling tidak PT. Kereta API ataupun perusahaan di sektor infrastruktur banyak yang mengantungi gelar regulator dan saat ini masih tetap eksis.
Memang, di lapangan banyak kejadian yang perlu di review kembali, akibat kebijakan tersebut. Lihat saja sejarah berdirinya, di mana pada saat pertama, fungsi regulator Jasa Marga, dilaksanakan oleh suatu Badan yang terpisah, yang terdiri dari Institusi Antar Departemen yang terkait dengan masalah tol. Sejak tahun 1994, fungsi tim antar departemen tersebut dikembalikan lagi, tapi tidak ke Departemen PU, akan tetapi ke Jasa Marga sendiri. Sejak saat itu, resmilah Jasa Marga menjadi single parents.
Optimalisasi koordinasi antar unit organisasi didalam struktur organisasi Kimpraswil
Ada 5 unit organisasi setingkat eselon I di dalam Departemen Kimpraswil yang ikutmenangani masalah jalan tol, dan uniknya, koordinasi antar unit tersebut dapat dikatakan belum optimal.
Hal ini tentu menyebabkan adanya kerancuan dan tidak ada pembinaan yang berkelanjutan. Sedangkan di luar organisasi Departemen Kimrpaswil ada 4 organisasi setingkat departemen yang terlibat dan satu organisasi interdepartemen yang dikenal dengan Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur. Dan apa yang terjadi? Sampai dengan saat ini belum ada proyek-proyek yang tertunda karena krisis multidimensi sudah sampai tahap implementasi. Lihat saja yang kasat mata, dengan volume lalu lintas 200.000 kendaraan perhari (untuk break even, paling tidak harus ada 20.000 kendaraan perhari) masih belum ada investor yang tertarik berkompetisi.
Belum lagi ditambah kenyataan saat ini, masing-masing pemerintah daerah berlomba-lomba mengajukan usulan jalan tol, walaupun tol yang diajukan tersebut, hanya diperkirakan menampung sekitar 5.000 kendaraan perhari. Propinsi-propinsi Kaya seperti Riau dan Kalimantan Timur, juga mengajukan jalan tol, yang diperkirakan akan memberikan nilai tambah atau multiplier effect terhadap pembangunan. Riau menawarkan adanya swap dengan investor kelapa sawit, sedangkan kalimantan timur, yang lebih menarik, kabupaten disekitar jalan tol, ikut berkontribusi dalam investasi, bahkan, ratio antara utang dengan equity adalah : 30: 70 berbanding terbalik dari kebiasaan yang ada. Apakah ini pertanda baik?
Kembali lagi pada pertanyaan, duit siapa yang dipergunakan untuk jalan tol? Pajak yang di bayar rakyat, dan pajak sumber daya seperti mineral ataupun hasil tambang lainnya. Hal ini menyangkut masyarakat, dan saya percaya apabila dilihat secara wilayahpun, pengembangan wilayah berbanding dengan costnya tentu masih lebih besar cost. Tanpa adanya multiplier effect, tentunya akan berpengaruh kepada tingkat pertumbuhan wilayah. Ada anggapan yang salah dari pemerintah daerah, yakni "tol berarti adanya tambahan pemasukan dana bagi pemerintah daerah". Anggapan ini tentu saja benar, kalau mengikuti formula yang benar, tetapi kalau tidak, investor mana yang mau rugi dalam bisnis tersebut.
Kembali ke khitah
Dengan menyerahkan peran regulator (pengaturan) kembali kepada Pemerintah, maka paling tidak ada beberapa keuntungan yang diperoleh oleh pemerintah sebagai penyelenggara, yakni :
- Terciptanya level of playing field yang memungkinkan adanya kompetisi. Dengan kompetisi, tentunya, kedepan, pada saat tender investasi, maka tarif awal dan penyesuaiannya, merupakan suatu parameter yang ditenderkan. Konsekwensi logis dari kebijakan ini, adalah, pengguna jalan tol, mendapatkan harga termurah dari sistim Pay As You Go ini, dan kondisi harga termurah tidak dapat dihindari lagi.
- Adanya kompetisi, menandakan adanya peningkatan rasa percaya dunia bisnis jalan tol kepada pemerintah, dan pada gilirannya ini berarti adanya pertumbuhan wilayah
- Jasa Marga sebagai BUMN dapat lebih berkonsentrasi dalam substansi jalan tol. 24 tahun berkecimpung di pembangunan jalan tol, tentunya menjadikan BUMN ini menjadi satu-satunya perusahaan yang dipenuhi expert jalan tol, dan tentunya dapat meningkatkan pelayanannya ke seluruh pelosok yang sudah memungkinkan diadakan jalan tol.
- Adanya badan regulator yang hanya berkonsentrasi pada regulasi, seperti regulasi pengadaan tanah, regulasi penetapan tarif awal ataupun penyesuaian tarif tol
Masa transisi, apa yang harus dilakukan?
Strategi pada masa transisi merupakan hal yang signifikan dan harus dipikirkan. Mengapa? Penyerahan fungsi pengaturan kepada pemerintah akan berakibat seluruh pekerjaan pengaturan diserahkan kepada pemerintah baik dalam bentuk badan ataupun dalam bentuk satu organisasi yang terdiri dari berbagai unsur dalam Departemen Kimpraswil ataupun inter departemen.
Pertanyaannya: Apakah kita (Departemen) sudah siap, untuk menjalankan fungsi tersebut? Kalau belum siap, apakah sebagian dari Staf Jasa Marga dipindahkan ke Pemerintah (masalah perbedaan gaji?) untuk membantu pemerintah menjalankan fungsi tersebut.
Ataukah (berandai-andai) pemerintah untuk sementara, karena nampaknya badan tersebut ada di pemerintah, dan pemerintah belum siap tempur, maka jalan keluarnya adalah menyewa expert untuk melaksanakan pekerjaan, sementara pada saat yang sama dilakukan dua hal: transfer of knowledge, membuat buku pedoman regulasi dan mempersiapkan reformasi kedepan.
Idealnya badan yang mengelola hal tersebut adalah badan yang independen, yang championing dan penuh dengan expert yang menguasai bidang regulator tentunya. Hanya saja untuk sementara, tentu saja, badan independen itu diemban oleh Pemerintah, entah itu Departemen Kimpraswil sendiri ataukah Pantia Interdepartemen yang pernah ada di masa yang lalu.